Ragam tantangan dan dinamika begitu unik dalam pernikahan yang “menyatukan” dua priibadi yang berbeda. Seperti puzzle, kekurangan yang satu diisi dengan kelebihan yang lain. Apa saja tantangan pernikahan di 10 tahun pertama?
Tak ada resep yang persis sama untuk setiap pasangan, karena keunikannya tersebut. Resep yang mujarab bagi satu pasangan belum tentu memberikan efek yang sama persis untuk pasangan yang lain.
Pasangan-pasangan muda di 10 tahun pertama pernikahan, memang penuh dengan kejutan-kejutan. Baik yang manis, kecut bahkan pahit.
Kejutan terutama adalah ketika menemukan kenyataan, baik kenyataan tentang diri sendiri maupun tentang pasangannya. Sesuatu yang tak muncul saat pacaran atau tak terberitakan ketika ta’aruf dan diperkenalkan.
Kejutan manis memang membahagiakan, misalnya, ketika menemukan bahwa pasangan kita ternyata memiliki kualitas diri yang melebih ekspektasi.
Kejutan pahit, membuat kening kita berkerut,
“Kok gitu sih …?”
Saat melihat kebiasaan yang menyebalkan, perilaku yang tak nyaman, pemikiran dan value yang sulit dikompromikan, dll.
Cinta pun mulai menghadapi tantangan pertama. Bertambah kuat atau bertambah lemah. Tantangan pernikahan pun menjadi menarik karena penuh dengan trial-error dan semangat eksplorasi dari kedua belah pihak dalam proses adaptasinya.
Coba cara ini, coba cara itu. Menangis, marah, tertawa, adalah hal-hal lumrah yang terjadi.
Beberapa poin penting yang saya kira berpengaruh terhadap bagaimana pasangan menjadi semakin menguatkan atau bahkan saling melemahkan ikatan, di antaranya:
Mereka yang mencintai hal-hal yang hakiki, memiliki kepercayaan pada pasangan dan memiliki tujuan besar di masa depan, umumnya memiliki motivasi dan keinginan lebih besar untuk mempertahankan pernikahannya.
Mereka ini juga lebih mau berusaha dan tidak mudah patah semangat saat menghadapi masalah.
Mereka yang menikah karena romantisme cinta, menjadi redup semangatnya dan memudar trust-nya saat menemukan kelemahan atau keburukan pasangannya.
Atau saat menyadari bahwa harapannya akan sulit terpenuhi di kemudian hari.
Setiap orang berangkat dari keluarga dengan tatanan aturan dan kebiasaan yang berbeda. Bahkan kadang juga dengan value yang berbeda.
Perlu digarisbawahi di sini mengenai value, bukan selalu berarti agama saja. Karena agama yang sama tapi dengan pemahaman yang berbeda pun berpeluang membuka konflik pula.
Sebetulnya konflik adalah hal yang sangat wajar. “Bumbu pernikahan” kata orang-orang tua dulu.
Ketika konflik itu bisa diatasi dengan baik (win-win solution dan ikhlas kedua belah pihak), maka ini akan menjadi modal yang baik untuk memperkuat pondasi pernikahan yang dibangun.
Tetapi penyelesaian yang kurang tuntas, akan menyisakan lubang, dan semakin banyak lubang membuat bangunan pernikahan menjadi rapuh.
Mereka yang diam saja, mengalah tapi tak ikhlas, berpeluang makan hati. Betul, menyampaikan juga berpeluang ribut.
Akan tetapi ribut untuk mencari penyelesaian masih lebih baik daripada diam tapi memendam kekecewaan.
Oke lah, mungkin memang pandangan kita benar, tapi memaksakan kehendak sementara yang lain tidak ikhlas, sulit untuk menghasilkan hubungan yang nyaman.
Menurut Virginia Satir, setiap orang memiliki Self Worth atau harga diri. Dan dalam pernikahan, menjadi tantangan menarik bagaimana tetap mempertahankan harga diri suami dan istri (bukan salah satu) sekalipun dalam perbedaan pendapat atau saat emosi.
Konsep menang-kalah tak berlaku dalam hubungan pernikahan. Kalau kita menang, tetap saja kita kalah ketika harga diri pasangan kita terluka.
Jika suami memiliki harapan sebesar 10, sementara istri hanya mampu 4, maka sulit bila memaksa suami menurunkan menjadi 4 atau istri dipaksa untuk mampu menjadi 10.
Lebih masuk akal bila suami menurunkan menjadi 7 dan istri berusaha untuk menjadi 7 pula. Keduanya berusaha mencari titik keseimbangan, dan keduanya belajar ikhlas.
Mereka yang bisa menerima pasangan apa adanya dan memaafkan kekurangannya dengan ikhlas biasanya lebih ringan langkahnya dalam mengarungi hidup.
————————-
Jangan-jangan itu mengapa dikatakan bahwa pernikahan adalah salah satu cara untuk menyempurnakan dan meningkatkan kualitas diri seseorang.
Karena ia dikondisikan dan dilatih untuk mengembangkan kualitas mental (empati, toleran, trust, kasih sayang, menghormati, pelayanan, kesabaran, pemaaf, dll) yang kesempatannya dapat diperoleh melalui pernikahan.
Penulis “Tantangan Pernikahan di 10 Tahun Pertama”: Bunda Yeti Widiati 39-110617
Postingan ini dimodifikasi pada 11 Juni 2017 3:26 pm
Pembajakan software adalah masalah yang merajalela termasuk di Indonesia yang telah tumbuh seiring perkembangan kecepatan…
Siang terik paling enak menyantap masakan ndeso, salah satu yang buat kangen adalah menu sayur…
Kuliner Nusantara memang tak ada habisnya. Banyak sajian kuliner khas Indonesia yang terkenal seantero Nusantara,…
Karena berbagai alasan masih banyak pecinta kucing yang melepas kucingnya untuk bebas berkeliaran di luar…
Walaupun tidak setenar Tokyo, namun ada banyak destinasi wisata menarik yang bisa kamu kunjungi saat…
Remittance advice adalah definisi yang harus diketahui siapa saja yang akan melakukan remittance. Orang-orang yang…
Tinggalkan Komentar