Bayangkan setelah Anda tidak tidur semalaman kemudian pergi ke konser musik berdesak-desakan. Mungkin musik akan terasa sangat keras, dan lampu sorot akan terasa terlalu silau. Begitulah dunia ini terasa bagi anak anak sensitif.
Mereka merasa seperti hampir tidak memiliki kontrol terhadap dunia ini. Anak sensitif juga merespons terhadap banyak hal dengan sedikit berlebihan. Sensitivitas ini banyak ragamnya. Ada yang sensitif terhadap suara, ada yang sensitif terhadap perasaan, dan lain-lain.
Anak sensitif sangat sering menangis. Bahkan hanya karena diganti bajunya atau ditinggal, dia akan meraung-raung. Mereka juga sangat mudah terbangun tengah malam, membuat orangtua mereka lelah. Sangat mudah menangis saat mendengar suara keras.
Ketika sudah bisa merangkak, bukannya menggunakan kemampuan ini untuk menjelajah, mereka menggunakannya untuk merangkak ke orangtua mereka dan menempel terus. Hal ini membuat orangtua mereka susah bekerja.
Saat sudah bisa berjalan, mereka terus menempel dan merengek. Saat ditinggal dengan pengasuh, mereka menangis walaupun sudah kenal dengan pengasuhnya. Mereka lebih sulit untuk bermain dengan anak-anak lain, dan jika di coba biasanya akan merengek.
Saat mulai usia PAUD, mereka terlihat lebih penakut, karena pikiran mereka menjadi sedikit berlebihan. Mereka sering berfikir bahwa “hal buruk” akan terjadi padanya.
“Jika aku ditinggal sendirian dengan lampu padam, nanti para pencuri akan menangkapku,” mereka mungkin beralasan, “dan jika lampunya menyala, para pencuri itu akan tahu tempatku!”
Tapi bukan berarti ini seluruhnya buruk, dan ini juga bukan terjadi karena pengasuhan yang salah. Anak sensitif memang sifat bawaan sejak lahir. Kalau tidak dihadapi dengan benar, anak sensitif memang susah dikontrol.
Tetapi kalau dihadapi dengan benar, sensitivitas ini bisa menjadi sebuah kelebihan karena mereka bisa melihat sesuatu yang tidak dilihat oleh orang lain secara umum. Anak yang sensitif secara emosi bahkan bisa ‘menebak’ perasaan orang lain.
Bagi anak sensitif, mempunyai orang yang berempati dengannya sangat membantu. Karena walaupun tidak secara langsung menyelesaikan masalah, sang anak merasa bahwa dia tidak sendirian dalam menghadapi masalahnya.
Sementara itu, walaupun perlu berempati, orangtua perlu membuat batas. Misal, jika sang anak tidak mengerjakan PR, harus dibuat sesuatu yang membuat jera.
Walaupun sang anak terlihat rapuh, orangtua tidak boleh terlalu protektif. Ini akan membuat sang anak merasa makin pasif dan perlu dibantu. Sang anak harus belajar menyelesaikan berbagai hal sendiri, karena ini akan membantunya menyelesaikan masalah sendiri.
Sang anak juga harus diajari cara mengidentifikasi perasaannya. Jika sang anak sudah mampu mengidentifikasi perasaan, InsyaAllah akan lebih mudah baginya untuk menyelesaikan masalahnya sendiri.
Dengan ini, diharapkan bahwa sang anak dapat mengendalikan perasaannya dan menjadikan sensitivitasnya sebagai aset, bukan penghalang.
Penulis: Ali Abdurrahman (dalam rangka tugas homeschooling, ditulis saat usia 13 tahun)
The Challenging Child: Understanding, Raising, and Enjoying the Five ” Difficult” Types of Children Book—Stanley I Greenspan, M.D
Postingan ini dimodifikasi pada 10 Mei 2017 6:38 am
Pembajakan software adalah masalah yang merajalela termasuk di Indonesia yang telah tumbuh seiring perkembangan kecepatan…
Siang terik paling enak menyantap masakan ndeso, salah satu yang buat kangen adalah menu sayur…
Kuliner Nusantara memang tak ada habisnya. Banyak sajian kuliner khas Indonesia yang terkenal seantero Nusantara,…
Karena berbagai alasan masih banyak pecinta kucing yang melepas kucingnya untuk bebas berkeliaran di luar…
Walaupun tidak setenar Tokyo, namun ada banyak destinasi wisata menarik yang bisa kamu kunjungi saat…
Remittance advice adalah definisi yang harus diketahui siapa saja yang akan melakukan remittance. Orang-orang yang…
Tinggalkan Komentar