Di dunia pelayanan publik, hidup itu dinamis. Random, tidak linier, penuh ketidakterdugaan. Dari pengalaman, ternyata tidak bisa setiap keputusan menyangkut publik mampu menyenangkan semua pihak. setuju dan tidak setuju hadir bersamaan. Selalu ada dua sisi dalam satu koin. Selama 2 tahun dari warga menjadi walikota, saya menyadari hal ini.
Karena realita hari ini di ranah pelayanan publik seringkali bekerja ter/diberitakan sering disebut pencitraan ingin mendapatkan pujian. Bekerja tidak kedengaran disebut “apa sih kerjanya” atau dianggap makan gaji buta.
Karenanya saya memilih untuk bekerja sambil mencoba berdialog semaksimal mungkin. Jika ada masukan selalu saya baca/dengarkan diam-diam atau dibalas seperlunya. Saya tidak anti kritik. Saya senang, karena kritik yang benar adalah obat pahit untuk hidup lebih sehat. Kepada kritik juga sering saya baca diam-diam untuk menjadi masukan/perbaikan. Tetapi jika dasar fakta kritikannya tidak tepat, sering saya luruskan dan saya sampaikan pandangan-pandangan atau argumentasi kenapa lahirnya satu keputusan.
Saya temukan ada 5 tipe kritikus (“tukang” kritik), khususnya melalui media sosial ini. Media dimana etika susah bisa diatur. Media yang menjadi tempat dimana bahasa percakapan menjadi ditekstualkan. Media dimana seringkali identitas diri dengan mudah disamarkan karena ketidakpedeaan dalam ber-identitas. Media yang selalu riuh seperti pasar malam.
Kritikus tipe A: Fakta benar. Mampu memberikan dasar-dasar argumen dengan runut. Penuh studi kasus/referensi. Bersedia berdialog. Fokus pada substansi. Jernih. Tidak emosional dan Menghargai perbedaan pandangan.
Kritikus tipe B: Fakta benar. Mampu memberikan dasar-dasar argumen dengan runut. Bersedia berdialog. Fokus pada substansi namun saat didebat dasar argumennya, cenderung tidak mau menerima perbedaan pandangan. Dan biasanya malah marah/pundung ketika balik dikritik.
Kritikus tipe C: Fakta benar. Tidak mampu memberikan dasar-dasar argumen dengan runut. Logika hadir namun terbatas. Cenderung berakhir dengan mengejek fisik dan labelisasi kepribadian objek kritik.
Kritikus tipe D: Fakta benar namun penuh amarah. Kalimat-kalimat pendek emosional. Sering berakhir dengan mengejek fisik objek kritik. Banyak tanda seru. Sumbu pendek.
Kritikus tipe E: Sudah faktanya salah. penuh amarah. Kalimat-kalimat pendek emosional. Sering berakhir dengan mengejek fisik objek kritik. Banyak tanda seru. Sumbu pendek.
Semoga kita selalu kritis. Mari bangun peradaban negeri ini dengan berdialog yang kritis harmonis dan argumentatif penuh referensi. Bukan caci maki sumbu pendek (dengan) menjadi kritikus tipe A.
Hatur Nuhun.
Sumber Tulisan:
Kang Ridwan Kamil (Walikota Bandung) dalam akun pribadi Facebook beliau dengan beberapa perubahan redaksional.
Postingan ini dimodifikasi pada 18 Oktober 2015 8:26 am
Pembajakan software adalah masalah yang merajalela termasuk di Indonesia yang telah tumbuh seiring perkembangan kecepatan…
Siang terik paling enak menyantap masakan ndeso, salah satu yang buat kangen adalah menu sayur…
Kuliner Nusantara memang tak ada habisnya. Banyak sajian kuliner khas Indonesia yang terkenal seantero Nusantara,…
Karena berbagai alasan masih banyak pecinta kucing yang melepas kucingnya untuk bebas berkeliaran di luar…
Walaupun tidak setenar Tokyo, namun ada banyak destinasi wisata menarik yang bisa kamu kunjungi saat…
Remittance advice adalah definisi yang harus diketahui siapa saja yang akan melakukan remittance. Orang-orang yang…
Tinggalkan Komentar