Dalam sebuah obrolan, ada seorang bapak-bapak setengah abad yang bertanya pada saya.
“Mas, saya ini masih punya ibu, yang sudah sangat tua. Beliau sering sakit-sakitan. Saya sering menangis pada Alloh ketika sholat malam, saya sangat ingin berbakti kepada beliau. Ingin rasanya ikut meringankan beban hidupnya, sekedar untuk makan dan berobat.”
“Lah, tinggal ngasih aja khan pak. Apa masalahnya?” Tanya saya heran.
“Masalahnya mas, saya di usia yang semakin tua, bukan kehidupan tambah enak, tapi sekarang saya malah memiliki banyak utang. Anak semakin besar malah tambah keperluan. Pengeluaran tidak terduga seperti ngantri tidak ada habisnya. Akhirnya selalu saja gaji saya habis untuk keperluan-keperluan. Bagaimana saya bisa membantu orang tua? Bahkan, orang tua menawarkan tanahnya untuk dijual, agar saya bisa melunasi utang saya. Saya butuh, tapi malu untuk menerima tawaran itu.”
“Sudah jelas pak, kenapa rezeki bapak serba sempit, sulit, dan sedikit.” Kata saya kemudian.
“Jelas gimana mas? Seandainya saya ada sedikit saja kelapangan, maka saya akan serahkan semua kepada ibu saya. Tapi ini benar-benar ga ada sisa sama sekali. Saya tabungan juga ga punya. Bagaimana saya bisa membantu?” Tanya bapak ini heran.
“Semakin terang benderang pak, Bapak bisa sulit seperti ini karena bapak berpikir, kalau bapak “ada sisa” maka sisa inilah yang akan bapak berikan ke orang tua. Jadi jelas saja, karena bapak berpikir seperti itu, maka tidak heran rezeki bapak juga sisa.”
“Maksudnya gimana mas? Saya ga paham.”
“Begini pak, Bapak berpikir karena kondisi bapak sekarang sedang sulit, maka bapak tidak mampu bersedekah kepada orang tua.
Padahal, jika saja bapak memahami, bapak tidak mau bersedekah pada orang tua inilah yang menyebabkan rezeki bapak jadi sempit. Bahasa mudahnya: Bukan karena kesulitan kita tidak mampu bersedekah, tetapi karena tidak mau bersedekahlah yang menyebabkan hidup kita sulit.” Kata saya menjelaskan
“Kenapa bisa begitu?”
“Hanya anak yang berbakti yang mengutamakan orang tuanya diatas kepentingan siapapun, terutama karena bapak adalah seorang laki-laki. Ridho Allah itu bersama dengan ridho orang tua. Mau dapat ridho Allah, dapatkan ridho orang tua. Mau dicintai Allah, maka buatlah orang tua cinta pada kita. Mau dilonggarkan rezekinya oleh Allah, maka longgarkan rezeki orang tua. Rumus yang sederhana, pak.”
“Iya, saya mengerti. Apa yang harus saya lakukan?”
“Ketika bapak terima gaji, langsung ambil sebagian untuk kepentingan orang tua, dan sisanya baru untuk bapak dan keluarga.”
“Kalau tidak cukup untuk kebutuhan keluarga bagaimana? Selama ini saja jelas tidak cukup.”
“Tidak, mas. Jadi, saya ambil dulu untuk orang tua, baru sisanya untuk keluarga?”
“Ya, karena dengan mengutamakan orang tua, maka Allah akan mengutamakan bapak di dunia dan di akhirat.”
“Terima kasih, mas. Saya baru menyadarinya sekarang.”
Postingan ini dimodifikasi pada 19 September 2015 4:33 am
Pembajakan software adalah masalah yang merajalela termasuk di Indonesia yang telah tumbuh seiring perkembangan kecepatan…
Siang terik paling enak menyantap masakan ndeso, salah satu yang buat kangen adalah menu sayur…
Kuliner Nusantara memang tak ada habisnya. Banyak sajian kuliner khas Indonesia yang terkenal seantero Nusantara,…
Karena berbagai alasan masih banyak pecinta kucing yang melepas kucingnya untuk bebas berkeliaran di luar…
Walaupun tidak setenar Tokyo, namun ada banyak destinasi wisata menarik yang bisa kamu kunjungi saat…
Remittance advice adalah definisi yang harus diketahui siapa saja yang akan melakukan remittance. Orang-orang yang…
Lihat Komentar
rejeki itu sudah ditentukan
Allah Melapangkan rejeki dan menyempitkan (cukup) rejeki kepada siapa saja yang dikehendakiNya
Bukankah sang kafir diberi rejeki juga?
Bukankah sang mukmin diberi rejeki juga?
Berbuat baik saja kepada kedua orang tua untuk dapat ridho Alloh
dalilnya silahkan cari banyak di alquran dan hadits dan bukti nyata juga terjadi
Kalau ada beda pemahaman pegang keyakinan saja masing masing.
Kita tetap bersaudara