Surat Terbuka untuk LGBT dari Muslimah Bercadar
Polemik tentang keberadaan LGBT memang tidak ada habisnya. Berbagai kalangan pun merespon tentang LGBT ini dan menyuarakan pendapatnya.
Salah satunya adalah respon dari seorang wanita muslimah bercadar ini. Beliau menuliskan sebuah surat terbuka yang ditujukan oleh komunitas LGBT, terkait dengan suara mereka di salah satu tayangan televisi swasta tentang diskriminasi alih-alih HAM.
Seperti apa isi surat terbuka yang ditujukan kepada komunitas LGBT tersebut? Check this out!
Kemarin pagi saya membaca di linimasa akun facebook saya yang sedang ramai membicarakan tayangan Indonesia Lawyer Club yang tayang pada tanggal 16 Februari kemarin di TVOne. Karena penasaran, akhirnya saya klik tautan rekaman tayangan tersebut di youtube. Durasi totalnya sekitar 2 jam 45 menit. Saya simak benar-benar setiap perkataan narasumber. Lalu ketika narasumber dari komunitas LGBT membuka suara menuntut agar tidak mendapatkan diskriminasi alih-alih karena Hak Asasi Manusia, saya jadi penasaran, memang diskriminasi apasih yang mereka dapatkan?
Setelah mereka berbicara panjang lebar respon saya cuma satu, “Lho, jadi cuma gitu doang?” Kata mereka diskriminasi yang mereka dapat berupa bully, dilarang kerja di perusahaan tertentu, dilarang kuliah di kampus tertentu. Wah itu sih bagi saya hal sepele banget. Kalau hanya se sepele itu saya dan kawan-kawan saya lainnya yang bercadar juga gampang saja lapor KOMNAS HAM karena didiskriminasi.
Saya seorang mahasiswi dan bercadar dalam keseharian saya, baik ke kampus atau pergi ke mana pun. Mungkin saya adalah salah satu muslimah bercadar yang beruntung dibandingkan dengan teman-teman saya lainnya yang mengenakan cadar, keluarga saya mendukung saya dan kampus saya juga mengizinkan untuk bercadar. Banyak teman-teman saya yang bercadar mendapat pertentangan dari orang tuanya.
Tidak perlu sampai ke tahap mengenakan cadar, yang mengenakan jilbab syar’i (yang lebar) saja pun banyak yang mendapat pertentangan keras dari keluarganya. Ada yang sampai dikurung dan tidak boleh keluar-keluar. Ada yang kalau pulang ke rumah dan ketahuan punya pakaian syar’i, pakaiannya digunting-gunting lalu dibakar oleh keluarganya, itu baru keluarga inti, keluarga yang paling dekat, bagaimana sekeluarga besar? Itu baru diskriminasi dari pihak keluarga belum dari pihak masyarakat.
Di masyarakat sendiri, kami pun sering mendapatkan perlakuan diskriminatif. Dipandang secara sinis, dicaci, dimaki, dikata-katai, dipermalukan di depan umum. Ketika menjadi pembeli kami tidak mendapat perlakuan yang manis dari para pelayan, dan masih banyak lagi, di antaranya:
1. Ketika saya berada di Rumah Sakit di salah satu kawasan di Yogyakarta, ada seorang bapak yang mencaci saya dengan mengatakan “Dasar Setan” dengan intonasi dan nada penuh kebencian.
2. Bulan lalu saya diteriaki oleh seorang sales disebuah pusat perbelanjaan “WOI ISIS”. Saya juga pernah diteriaki “TERORIS” ketika sedang berjalan di tengah keramaian Malioboro.
3. Ketika saya sedang naik Commuter Line, saya malah dijadikan bahan ancaman oleh seorang ibu-ibu untuk menakut-nakuti anaknya agar anaknya diam, “Kalau kamu gak mau diam, Ibu kasih kamu ke dia.” Memangnya saya semenyeramkan itu?
4. Ketika di bandara saya diperiksa dengan pemeriksaan super ketat yang itu TIDAK DILAKUKAN KEPADA CALON PENUMPANG PESAWAT LAINNYA. Ketika masuk Mall tas saya diperiksa padahal pengunjung yang lain tidak.
5. Saya juga pernah dikatai oleh seorang Waria di Sunmor UGM, “Iii ada Mbak Ninja”, lha kaum kalian teriak-teriak tidak mau didiskriminasi lho kok malah mendiskriminasi orang lain?
Lalu sang narasumber ILC juga menyampaikan bahwa banyak kaum LGBT yang dilarang bekerja di suatu perusahaan tertentu dan dilarang kuliah di kampus tertentu. Walah, hal yang seperti ini tidak hanya kalian yang merasakan, kami para muslimah bercadar dan/atau berjilbab lebar pun demikian.
Seandainya dibuat sebuah penelitian tentang mana yang lebih banyak jumlah diskriminasi, terhadap kaum LGBT ataulah terhadap muslimah bercadar dan/atau berjilbab lebar, saya yakin hasilnya perusahaan yang membolehkan pekerjanya dari kaum LGBT lebih banyak daripada perusahaan yang membolehkan karyawatinya bercadar.
Dalam ranah universitas pun, masih banyak universitas-universitas yang melarang Mahasiswinya bercadar. Banyak sekali. Bahkan teman-teman saya memakai masker untuk menutup wajah pun dilarang sampai pihak kampus memerintahkan petugas keamanan untuk memberi peringatan kepada mahasiswi yang berjilbab panjang dan mengenakan masker untuk menanggalkan maskernya.
Ada pula teman saya yang disindir oleh dosennya, “Kamu pake masker karena keimanan yang kamu percaya atau karena sakit? Kalau karena imanmu, semoga kamu masuk surga deh.”
Salah satu narasumber dari pakar komunikasi UI, Bapak Ade Armando, menyampaikan bahwa ada mahasiswanya yang ketika ia berangkat dari rumahnya ia harus mengenakan pakaian laki-laki, lalu ditengah jalan ia berganti pakaian menjadi pakaian wanita, dan ketika di kampus ia berdandan seperti wanita, padahal aslinya ia adalah pria. Pak Ade, kasus seperti ini juga banyak sekali kami alami. Bahkan terjadi kepada mahasiswi bapak juga.
Teman-teman saya ketika liburan kuliah dan pulang ke rumah terpaksa menanggalkan cadarnya, atau memendekkan jilbabnya agar tidak dicap ekstremis oleh orang tua dan tetangga-tetangganya di kampung. Lalu ketika kembali lagi ke kota tempatnya menimba ilmu, di tengah jalan ia harus berganti pakaian juga.
Diskriminasi lainnya yang tidak akan para LGBT rasakan dan hanya kami yang merasakan adalah sulitnya mau keluar negeri karena berbelit-belit di imigrasi, diinterogasi panjang lebar, dituduh sebagai teroris dan sebagainya. Tentu berbeda dengan kalian yang mudah saja ketika mau ke luar negeri. Jika kalian tidak diterima di negeri ini, kalian masih bisa ke luar negeri karena di luar negeri, khususnya negara barat, bisa menerima kalian. Tetapi berbeda dengan kami. Kami tetap saja menjadi bahan ‘bullying’ baik dalam negeri maupun luar negeri.
Barangkali kalian pun tidak pernah masuk ke tempat-tempat umum seperti mall atau bandara lalu diperiksa dengan pemeriksaan super ketat, bukan? Kami sering mengalaminya! Seakan-akan kami ini selalu dicurigai membawa bom atau akan melakukan aksi teror.
Dan satu lagi, jika kalian hanya akan di-bully saat menunjukkan “identitas” kalian, lain halnya dengan kami. Kami para muslimah bercadar dan/atau berjilbab lebar ini jadi korban bully sepanjang waktu.
Jelas apa yang kami dapatkan itu adalah bentuk-bentuk diskriminasi. Tapi apakah ada yang dengan gigih membela kami dari kalangan aktivis HAM? Mengapa justru membela sesuatu yang jelas-jelas menyimpang seperti LGBT?
Para aktivis HAM, ketika bicara tentang ajaran Islam, maunya islam dengan konsep Islam Nusantara, alasannya karena kearifan lokal. Namun ketika bicara urusan LGBT, maunya seperti luar negeri seperti Amerika, alasannya karena persamaan hak. Standar Ganda.
Intinya tidak perlu berlebihan. Kalian merasa menjadi pihak yang paling terzalimi sejagad Indonesia Raya dan merasa yang paling banyak mendapatkan perlakuan diskriminatif dibanding rakyat Indonesia lainnya. Masih banyak orang lain yang diperlakukan diskriminatif lebih parah daripada kalian, hanya saja mereka tidak koar-koar di media dan tidak menuntut belas kasih KOMNAS HAM.
Lagipula jika kalian mendapatkan perlakuan yang berbeda, itu wajar dan sah-sah saja. Karena LGBT adalah penyakit, ancaman, penuh propaganda, menular, dan bertentangan dengan segala macam tinjauan baik secara medis, psikologis, agama, sosial, kemanusiaan, maupun tinjauan akal sehat manusia sehingga perlu mendapatkan perlakuan berbeda ketika muncul di tengah masyarakat. Adapun kami sebagai muslimah bercadar dan berjilbab, diskriminasi yang kami terima semata karena beberapa elemen masyarakat belum teredukasi dengan aturan ajaran Islam tentang jilbab. Cadar dan jilbab yang kami kenakan bukanlah sebuah penyakit, bukan pula ancaman, tidak mengandung propaganda, tidak menular, tidak pula bertentangan dengan tinjauan apapun baik sosial, medis, psikologis, apalagi agama.
Kami yang semestinya tidak pantas diperlakukan diskriminatif hanya karena lembaran kain gelap yang kami kenakan tidak mengemis belas kasihan masyarakat luas, apalagi Komnas HAM, agar bersikap wajar terhadap kami. Adapun kalian kaum LGBT, perlakuan diskriminatif masyarakat terhadap kalian memang sudah sewajarnya demi kebaikan kalian sendiri agar kembali menjadi manusia yang berorientasi seksual yang normal sehingga tidak lagi menjadi ancaman bagi masyarakat.
Selama kalian menyalahi fitrah kalian sebagai pria atau wanita yang diciptakan oleh Allah secara heteroseksual, jangan pernah berharap masyarakat akan sepenuhnya menerima kondisi kalian yang secara nyata telah menjadi ancaman dan bertentangan dengan berbagai tinjauan apapun.
Hadanillahu wa iyyakum. Semoga Allah memberi hidayahNya kepada saya dan kita semua.
Yogyakarta, 19 Februari 2016