Hidayah untuk Khadijah, Kisah Inspiratif Perjalanan 15 Tahun Mencari Guru Al Qur’an
Sebuah kisah yang cukup inspiratif seorang wanita yang sedang mencari hidayah, “hanya” butuh waktu 15 tahun untuk mendapatkan guru Al Qur’an.
Sosoknya sering membuat orang pangling. Kadang dikira perempuan, tapi lebih sering disangka laki-laki. Beliau adalah seorang WNI asal pulau Nias yang telah 25 tahun menetap di Sydney, Australia. Namanya Khadijah.
Jauh dari image jeans dan gaya pop-rock dengan ikat pinggang berantai kegemarannya, sifatnya sangat lembut dan pemurah, pencinta anak-anak dan juga pintar memasak (pernah sekolah chef juga).
Profesinya adalah guru PAUD khusus anak-anak bermasalah. Direktur dari “Ijah center” ini terkenal mampu mengarahkan anak-anak yang super bandel, terkendala bicara, anak yang sulit bergaul sampai yang trauma psikologis akibat orang tua pemabuk dan narkoba.
Bu Khadijah telah memiliki semua yang ia inginkan. Rumah, mobil bagus, karir cemerlang dengan pekerjaan yang ia cintai, teman yang banyak. Hari-harinya penuh kesibukan, mengawasi dan membantu pekerjaan 70 bawahannya dan 300-an anak-anak lucu.
Tapi ada kesepian yang mengelilingi dirinya, ia merasa jauh dari Allah. Bayangan kehidupan kampung Islam di Nias masih jelas terbayang. Shalat dengan mukena putih berjamaah, hari raya yang dinikmati selama 1 bulan penuh, anak-anak yang berlari pergi dan pulang dari balai mengaji. Ia rindu semua itu. Ia sudah lama sekali tak mengaji dan sudah lupa cara membaca huruf2 Arab itu.
Lalu ia mulai mencari guru mengaji sejak 15 tahun yang lalu. Ternyata sulit untuk ditemui. Teman-teman kebangsaan Turki yang ia kenal juga sama, tidak shalat, tidak bisa baca qur’an, minum arak pula.
Ada dia temukan pengajian Islam biasa, pengajian campur arisan, quran dibaca pas pembukaan saja. Tak ada yang khusus mengajar cara baca qur’an.
Setelah 15 tahun mencari dan tak bertemu, ia mulai bosan. Sampai suatu saat puncak kehampaan jiwa dialaminya, Allah memberi hidayah. Saat itu terlintas di fikirannya untuk menelpon Konsulat Jendral Indonesia, menanyakan apakah ada guru privat yang mau mengajarnya membaca al qur’an.
Seorang ibu staf konjen RI memberinya kontak nomor mobile phone seorang PhD student di University of New South Wales (UNSW) yang juga guru TPA konjen. Segera bu Ijah menghubungi mahasiswi tersebut, Dilla, dan perjalanannya mengenal al quran dimulai lagi.
Tak puas hanya mengaji sepekan sekali, beliau minta waktu mahasiswi tersebut 1 jam tiap hari untuk mengaji iqra lewat telpon. Dilla pun dengan semangat mengiyakan. Jadilah selama 8 bulan mereka bertelepon tiap hari selama 1 jam, seringkali lebih.
Dari belum kenal huruf hingga dapat membaca dengan lancar. Dari Dilla juga, akhirnya beliau mengenalku dan jadi partisipan di kelas tahsin kami. Kini beliau rajin mengikuti pertemuan pekanan halaqah tahsin yang sebagiannya adalah students, juga ada ibu rumah tangga di antaranya.
Dalam bahasa Indonesia yang patah-patah (beliau sudah lupa banyak kosa kata Indonesia) Beliau bilang “Sekarang saya tahu bagaimana rasa bahagia. Setelah 15 tahun mencari, saya bisa baca Al Qur’an. Terimakasih sudah mau mengajar Ijah yang bodoh ini”.
Ada haru yang merembes dalam hati kami. Sejuk. Saya peluk dia erat-erat. Semoga perjalanan ini terus dapat kami tempuh bersama. ” I love you, bu Ijah…”. Dan matanya berkaca-kaca.
Menyimak perjalanan 15 tahun mencari guru ngaji, saya ingat salah satu pembahasan di pesantren mahasiswa dahulu masa saya masih S1.
Tiap hari kita minta hidayah. “Ihdina shiratal mustaqim” kata kita saat membaca al fatihah dalam shalat. “Berikan aku hidayah di jalan yang lurus”.
Muhammad Abduh, dalam Tafsir al-Manar, Musthafa Almaroghi dalam Tafsir al-Maraghi, dan Wahbah al-Zuhayli, dalam al-Tafsir al-Munir, menerangkan bahwa hidayah itu terdiri atas beberapa macam :
1. Hidayah ilham yang fitri
Bayi tahu bahwa menangis akan membuat ibunya memberinya makan, karena Allah memberinya petunjuk. Ia juga akan mencoba-coba makanan sedikit-sedikit tak sekaligus, karena Allah memberinya ‘warning’ bahwa jika makan sekaligus banyak akan rentan keracunan. Maklum, bayi-bayi sering coba-coba, kotoran ayam dan daun keladi pun dirasa-rasa. Hidayah ilham fitri tak perlu dipelajari dan dicari. Langsung diberi oleh ilahi.
2. Hidayah al Hawas
Manusia belajar membedakan rasa manis, pahit, asin, asam dan umami, juga mengenal bentuk dan nama2 benda. Bisa berjalan, berlari, menyanyi, karena ia belajar. Hidayah ini diberi ketika manusia mau belajar memfungsikan panca indranya.
3. Hidayah aqli
Manusia mampu membedakan mana yang baik dan yang buruk. Mendeteksi kejujuran dalam hatinya, kebohongan yang ia lakukan. Hidayah didapatnya dari Allah dengan menyentuh jauh ke dasar sanubari. Yang ia lihat dengan panca indranya belum tentu benar, mungkin hanya tipuan, ilusi. Hidayah aqli yang didapatnya mampu meluruskan hidayah al hawas yang terkadang salah. Hati yang senantiasa dibersihkan akan mendapat hidayah ini, walaupun belum beragama Islam.
4. Hidayah ad-Din
Hidayah ini didapat saat manusia belajar agama yang benar, agama samawi. Dari para Nabi dan Rasul. Dari Adam AS hingga Muhammad SAW. Hidayah ad din meluruskan hidayah aqli yang terkadang keliru karena aqal masih dipengaruhi oleh hawa nafsu.
Ingin menutup aurat, misalnya, walau aqal bilang itu baik bagi diri, kadang terhambat karena ada bisikan hawa nafsu “cuaca sedang panas sekali” atau “kau akan kehilangan pekerjaan dan teman jika berjilbab seperti itu!”. Hidayah ad din dalam surat an Nur ayat 31, kalau kita pelajari, akan mengalahkan bisikan hawa nafsu dan mendukung hidayah aqli.
Hidayah ini hanya didapat dari proses belajar tentang agama Islam secara khusus.
5. Hidayah Taufiq
Mendapat ilmu agama belum tentu membuat kita mengamalkannya. Perlu yang dinamakan “taufiq” agar tangan kita mau bershadaqah, supaya kaki kita melangkah ke medan dakwah.
Tanpa hidayah taufik, kita cuma kantung berisi ilmu yang cuma jadi koleksi sepi dalam benak yang merasa berilmu tinggi. Tahu doa ini itu tapi tak juga diucapkan, atau jika pernah diucapkan, belum jadi kebiasaan.
Mengerti keutamaan shalat dhuha tapi sibuk ngantor sampai lupa waktu.
Sayangnya si taufiq tak dapat dicari. Hanya menunggu diberi, sambil terus mengikat hati dengan Allah dan orang-orang yang utuh dalam mencintai-Nya, mengamalkan ilmu2 mereka.
Belum tentu orang dengan ilmu tinggi melakukan apa yang ia tahu. Tapi begitu kita bertemu dengan orang2 yang digelari “qaumun ‘amaliyyun”, orang yang menghiasi diri dengan aplikasi ilmu, ikatlah hubungan akrab dengan mereka. Jika kita beruntung, hidayah taufiq akan menyapa.
So, keep trying, my friend. Yang penting terus berusaha. Iringi ‘bisikan mesra’ itu dengan kesungguhan hati, kejujuran diri, hiasi dengan kehinaan dan jauhnya jiwa dari hidayah-Nya.
“…Ihdina shiraathal mustaqiim. Shirathalladziina an’amta alayhim, ghairil maghdhubi ‘alayhim, waladh dhaaaaallin…”
Amin.
Sumber Tulisan:
Bunda Rosaria Indah