Kisah Suami Istri, Selingkuh Salah Siapa?
WITING TRESNO JALARAN SOKO KULINO. Cinta datang karena sering bertemu. Saya yakin pepatah Jawa ini tidak muncul tanpa sebab. Entah kapan munculnya, dan mungkin tak perlu menggunakan statistik ketika orang Jawa menyimpulkan bahwa cinta dan rasa sayang itu tumbuh karena intensitas dan frekuensi bertemu yang semakin besar.
Saya membuktikannya dari berbagai kasus perselingkuhan dan perceraian. Perselingkuhan hampir selalu diawali dan diiringi dengan menurunnya kualitas hubungan antara suami istri terlebih dahulu. Ada jarak yang memisahkan antara suami istri, baik itu jarak imajiner maupun jarak real.
Jarak imajiner adalah ketika suami istri tidak lagi memiliki pandangan, cita-cita, harapan dan tujuan besar yang sama.
Perbedaan ini bisa muncul sejak awal pernikahan. Ketika masing-masing laki-laki dan perempuan yang akan menikah tidak sungguh-sungguh membicarakan dan mempersiapkan rencana masa depan dengan rinci dan terbuka. Entah itu karena romantisme yang membutakan atau bahkan karena mereka tidak sungguh-sungguh saling mengenal calon pasangannya.
Perbedaan juga bisa muncul di tengah pernikahan. Pada dasarnya perubahan adalah alamiah, namun jika pasangan mengalami perubahan tidak dalam kecepatan yang sama, misalnya yang satu menjadi lebih luas pergaulannya, sementara pasangannya hanya berteman dengan orang yang sama, atau yang satu menjadi lebih luas wawasan dan minatnya sementara yang lain terjebak dalam rutinitas yang sama. Maka di titik ini pun akan timbul perbedaan. Biasanya perbedaan itu mulai terasa jelas setelah pernikahan berlangsung beberapa tahun.
Jarak imajiner juga bisa terjadi ketika pasangan yang karena kesibukan salah satu atau keduanya, memang benar-benar jarang bertemu. Suami istri yang bekerja dari pagi hingga malam, dan hanya bertemu beberapa jam saja sehari. Atau suami istri yang ritme kerjanya berbeda, sehingga nyaris tidak bertemu meski satu rumah. Istri yang bekerja siang hari sementara suami bekerja pada malam hari.
Pertengkaran hebat yang terus-menerus, keengganan untuk saling melayani, mengejek pasangan (termasuk menceritakan keburukan pasangan di FB) dan bahkan ketidak-pedulian atas pasangan, adalah beberapa gejala dari relasi yang berjarak. Kondisi ini kerap berlanjut menjadi kemalasan untuk berbicara dan bersikap terbuka, mulai berbohong, timbulnya prasangka, dan akhirnya trust (rasa saling percaya) pun tergerogoti. Kualitas hubungan suami istri pun menjadi semakin kritis.
Jarak real adalah ketika pasangan suami istri memang terpisah tempat sehingga harus melakukan LDR (Long Distance Relationship). Pasangan LDR membutuhkan komitmen yang sangat tinggi termasuk kesepakatan berapa lama hubungan seperti ini akan dijalani. Karena bagaimana pun ada ambang batas kemampuan orang melakukan LDR, sekalipun itu berbeda-beda pada setiap orang.
Risiko tinggi pada saat terpisahkan oleh jarak imajiner ataupun real, adalah ketika di tempat dan waktu yang berbeda justru ada orang lain yang mengisi kekosongan dan bahkan kebutuhannya. Misalnya saja, seorang suami yang jarang bertemu istrinya karena kesibukan bekerja justru intens bertemu dengan perempuan lain di tempat kerjanya. Demikian juga bisa terjadi sebaliknya, istri bertemu dengan laki-laki lain lebih intens daripada ia bertemu suaminya.
PIL atau WIL biasanya sulit masuk dalam pernikahan yang kualitas hubungannya baik. Hubungan yang baik terbentuk dari pernikahan yang memiliki;
1. Cita-cita, value dan cara pencapaian yang sama.
2. Komunikasi yang terbuka dan berimbang
3. Adanya trust
4. Kuantitas dan kualitas pertemuan yang baik. Bila kuantitas tidak memungkinkan (karena LDR atau sebab lain) maka kualitas menjadi sangat penting.
Ditulis oleh Bunda Yeti Widiati S. 140915 dengan beberapa perubahan redaksional